Setiap anak yang lahir ke dunia adalah anugerah yang luar biasa dari Allah SWT, sebuah titipan suci yang membawa kebahagiaan, tanggung jawab, dan harapan bagi orang tua. Dalam Islam, kelahiran seorang anak bukan hanya momen penuh sukacita, tetapi juga kesempatan untuk menunaikan sunnah mulia yang dikenal dengan aqiqah. Aqiqah merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah atas kelahiran anak, sekaligus pengakuan bahwa kehidupan yang diberikan harus disertai dengan ketaatan dan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan bahwa aqiqah bukan hanya sekadar tradisi, tetapi bagian dari ajaran yang membawa nilai spiritual dan sosial. Dengan melaksanakan aqiqah, seorang Muslim menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam atas kelahiran anaknya, serta meneguhkan niat untuk mendidiknya dalam kebaikan dan ketakwaan.
Aqiqah dilakukan dengan menyembelih hewan, biasanya kambing atau domba. Untuk anak laki-laki dianjurkan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan satu ekor. Namun, yang paling penting bukanlah jumlah hewan yang disembelih, melainkan keikhlasan dan kesungguhan niat dalam menjalankannya. Aqiqah juga dapat dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran, atau jika belum memungkinkan, bisa diundur ke waktu lain yang lebih lapang. Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, dan niat yang tulus akan tetap mendapatkan pahala.

Dalam pelaksanaan aqiqah, terkandung makna sosial yang sangat dalam. Daging hasil sembelihan biasanya dibagikan kepada kerabat, tetangga, serta orang-orang yang membutuhkan. Ini merupakan bentuk sedekah yang membawa keberkahan, mempererat tali silaturahmi, dan menumbuhkan rasa kepedulian di tengah masyarakat. Dengan berbagi melalui aqiqah, seorang Muslim diajarkan untuk tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memberi manfaat bagi orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Selain itu, aqiqah juga mengandung nilai pendidikan spiritual bagi keluarga. Orang tua yang menunaikan aqiqah seakan menegaskan niat mereka untuk membesarkan anak dalam lingkungan yang diberkahi. Tindakan mencukur rambut anak dan memberikan nama yang baik melambangkan awal kehidupan baru yang suci, bersih, dan penuh doa. Rambut yang dicukur kemudian ditimbang, dan nilainya disedekahkan dalam bentuk emas atau perak. Hal ini mengajarkan bahwa setiap anugerah dari Allah hendaknya disertai dengan kedermawanan dan rasa tanggung jawab sosial.
Lebih dari itu, aqiqah juga menjadi momen introspeksi bagi orang tua. Mereka diingatkan bahwa anak bukanlah sekadar pelengkap hidup, melainkan amanah yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Aqiqah menjadi simbol penyerahan diri, bahwa segala yang dimiliki termasuk anak, hanyalah titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan menunaikan aqiqah, orang tua seolah mempersembahkan rasa syukur mereka secara nyata, bukan hanya lewat ucapan, melainkan melalui perbuatan yang membawa manfaat.
Keindahan aqiqah juga terlihat dari kebersamaan yang tercipta saat pelaksanaannya. Sanak saudara, tetangga, dan sahabat berkumpul dalam suasana penuh keberkahan. Mereka turut merasakan kebahagiaan keluarga yang sedang bersyukur. Hidangan yang disajikan dari hasil sembelihan aqiqah menjadi simbol kasih dan kebaikan yang dibagikan. Di sinilah Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial. Syukur kepada Allah diungkapkan dengan memberi kepada sesama.
Aqiqah juga menjadi sarana untuk memperkenalkan anak kepada lingkungan sekitar sejak dini. Saat nama anak disebut dalam doa dan ucapan selamat, masyarakat turut mendoakan kebaikan dan keselamatan baginya. Doa-doa tersebut menjadi harapan agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang saleh, berbakti kepada orang tua, serta menjadi rahmat bagi sesama. Maka, aqiqah tidak hanya memberi manfaat spiritual kepada keluarga, tetapi juga mengokohkan ikatan sosial di masyarakat.
Menunda aqiqah tanpa alasan yang jelas sebaiknya dihindari, karena hal itu bisa mengurangi nilai keutamaannya. Rasulullah menganjurkan pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh sebagai bentuk kecepatan dalam menunaikan sunnah. Namun, jika kondisi ekonomi belum memungkinkan, Islam memberikan kelonggaran untuk melaksanakannya di waktu lain. Yang terpenting adalah menjaga niat agar tetap tulus, dan tidak mengabaikan hak anak atas aqiqahnya.
Dengan demikian, aqiqah adalah ibadah yang sarat makna. Ia merupakan wujud syukur, sarana berbagi, dan pengikat kasih sayang antara sesama. Melalui aqiqah, orang tua tidak hanya merayakan kelahiran anak, tetapi juga meneguhkan tekad untuk mendidiknya menjadi generasi yang bertakwa.
Pada akhirnya, setiap langkah dalam melaksanakan aqiqah harus dilandasi dengan keikhlasan. Sebab, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.” (HR. An-Nasai). Maka, siapa pun yang menunaikan aqiqah dengan hati yang tulus akan mendapatkan limpahan berkah, baik di dunia maupun di akhirat. Aqiqah bukan sekadar tradisi, tetapi ibadah yang mendekatkan manusia kepada Allah dan memperkuat ikatan kemanusiaan di antara sesama.