Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan beragam motivasi seseorang dalam melakukan kebaikan. Ada yang berbuat baik demi mendapatkan pujian, ada pula yang melakukannya dengan harapan akan menerima balasan yang setimpal. Namun, pada hakikatnya, berbuat baik seharusnya tidak memerlukan alasan atau pamrih apa pun. Kebaikan sejati lahir dari hati yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan, penghargaan, atau pengakuan dari manusia.
Islam mengajarkan bahwa amal kebaikan harus dilakukan dengan niat yang murni semata-mata karena Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” Hadits ini dengan gamblang menegaskan bahwa nilai amal terletak pada keikhlasan niat, bukan pada hasil atau penghargaan dari sesama.
Melakukan kebaikan tanpa alasan tertentu menunjukkan kematangan spiritual dan ketulusan batin seseorang. Ketika seseorang mampu berbuat baik tanpa mengaitkannya dengan tujuan duniawi, maka ia telah mencapai derajat ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa melihat-Nya maka yakin bahwa Allah selalu melihat dirinya. Ihsan ini menjadi landasan kuat dalam membentuk karakter mulia yang bersumber dari iman yang kokoh.
Seiring berjalannya waktu, kita kerap dihadapkan pada godaan untuk mencari validasi dari manusia. Keinginan untuk dipuji atau dianggap baik oleh orang lain bisa merusak kemurnian amal kita. Oleh sebab itu, penting untuk senantiasa mengingat bahwa kebaikan yang sejati tidak bergantung pada penilaian manusia. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Insan ayat 9: “Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
Kalimat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa motif utama dalam berbuat baik adalah mencari ridha Allah semata. Tidak ada keinginan tersembunyi untuk memperoleh balasan duniawi, apalagi untuk mendapatkan sanjungan. Kebaikan yang dilakukan murni untuk memperlihatkan kecintaan kita kepada Allah dan sebagai wujud ketaatan terhadap perintah-Nya.
Terkadang, manusia merasa ragu untuk berbuat baik kepada orang yang dianggap tidak pantas menerimanya. Namun, sejatinya kebaikan tidak mengenal syarat dan ketentuan. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam hal ini. Beliau senantiasa berbuat baik bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya. Salah satu kisah masyhur adalah ketika Rasulullah dikunjungi oleh seorang wanita Yahudi yang biasa melemparkan kotoran ke rumah beliau. Ketika wanita tersebut jatuh sakit, Rasulullah justru menjenguknya, menunjukkan kasih sayang dan kepedulian tanpa memandang perlakuan buruk yang diterimanya. Kisah ini menegaskan bahwa berbuat baik adalah karakter mulia yang tidak terikat oleh sikap orang lain.
Selain itu, kebaikan yang tulus juga menjadi sumber ketenangan batin. Seseorang yang berbuat baik tanpa alasan akan merasakan kedamaian yang tidak tergantikan. Ia tidak akan kecewa meskipun kebaikannya tidak dihargai, karena ia menyadari bahwa tujuannya bukanlah untuk mendapatkan penghargaan, melainkan untuk memenuhi panggilan hatinya yang suci. Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Ungkapan ini mengandung makna bahwa memberi atau berbuat baik adalah tindakan mulia yang lebih tinggi daripada meminta atau mengharapkan sesuatu dari orang lain.
Berbuat baik juga memiliki dampak besar dalam membangun masyarakat yang harmonis. Kebaikan yang tulus menularkan semangat positif kepada orang lain. Ia menjadi mata rantai kebaikan yang mengalir dari satu individu ke individu lainnya, tanpa perlu disertai alasan atau pamrih. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda: “Sebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan kepada orang lain, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah di waktu malam saat orang lain tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Tirmidzi)
Kebaikan yang dilakukan tanpa alasan juga membangun hubungan yang lebih murni antara manusia. Hubungan tersebut tidak dikotori oleh kepentingan tersembunyi atau ambisi duniawi. Ia tumbuh di atas dasar keikhlasan, rasa kasih sayang, dan kepedulian yang sejati. Dalam sebuah masyarakat, hubungan semacam ini menjadi pondasi kokoh yang mempererat persaudaraan dan memperkecil potensi konflik.
Meski demikian, terkadang kebaikan kita tidak dibalas dengan kebaikan pula. Ada kalanya kebaikan justru dibalas dengan kecurigaan, kebencian, atau bahkan pengkhianatan. Namun, ini tidak seharusnya melemahkan semangat kita untuk terus berbuat baik. Karena sesungguhnya balasan sejati atas setiap kebaikan berasal dari Allah SWT. Dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 disebutkan: “Barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Merenungi ayat tersebut, kita menyadari bahwa tidak ada satu pun kebaikan yang sia-sia di sisi Allah. Setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan ikhlas akan mendapat ganjaran yang setimpal, bahkan melebihi apa yang kita bayangkan. Keyakinan ini memberikan kekuatan luar biasa kepada kita untuk tetap konsisten dalam berbuat baik meski tidak mendapatkan apresiasi dari manusia.
Kebaikan yang dilakukan tanpa alasan adalah refleksi dari iman yang hidup. Ia menunjukkan bahwa seseorang benar-benar percaya kepada janji Allah, yakin bahwa hidup ini adalah ladang amal untuk akhirat, dan sadar bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara. Oleh karena itu, berbuat baik seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana kita bernafas tanpa harus berpikir.
Sebagaimana pepatah bijak mengatakan, “Kebaikan adalah bahasa yang dapat didengar oleh tuli dan dilihat oleh buta.” Kebaikan memiliki kekuatan ajaib untuk menembus segala batas, mencairkan kebekuan hati, dan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Tidak diperlukan argumen, tidak diperlukan pembenaran. Hanya tindakan sederhana yang keluar dari hati yang tulus.
Akhirnya, marilah kita tanamkan dalam diri bahwa berbuat baik adalah keharusan moral dan spiritual yang tidak perlu alasan. Kita berbuat baik bukan karena orang lain, bukan pula karena situasi, melainkan karena Allah menginginkan kita untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Kita menebar kebaikan bukan untuk pujian atau balasan, tetapi sebagai wujud syukur atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kita. Sebab, dalam setiap kebaikan yang kita lakukan, terkandung harapan untuk memperoleh keridhaan-Nya dan menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang dicintai. Dan itulah sebaik-baik tujuan dari setiap amal yang kita lakukan.