Tangisan adalah bahasa hati yang tak selalu mampu diungkapkan oleh kata-kata. Ia muncul dari kedalaman jiwa, sebagai reaksi dari rasa duka, haru, bahagia, hingga ketakutan dan harapan. Dalam setiap tangisan manusia, tersembunyi cerita panjang yang terkadang hanya dimengerti oleh pemilik air mata itu sendiri. Namun, dalam pandangan Islam, setiap tetes air mata yang jatuh bukanlah sia-sia. Ia memiliki makna, nilai, bahkan bisa menjadi jalan menuju ridha Allah jika disertai dengan keikhlasan dan ketundukan hati.
Rasulullah SAW sendiri adalah pribadi yang tak asing dengan tangisan. Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa beliau sering menangis, bukan karena kelemahan, melainkan karena kedalaman rasa takutnya kepada Allah, karena kasih sayangnya kepada umat, serta karena kerinduannya akan akhirat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi). Hadits ini memperlihatkan betapa air mata yang keluar karena ketakwaan memiliki nilai luar biasa di sisi Allah SWT.
Setiap insan pasti pernah merasakan duka, kegundahan, bahkan kepedihan yang tak tertahankan, dan dalam banyak kesempatan, tangisan menjadi pelampiasan yang melegakan. Air mata bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk ekspresi jiwa yang sedang bergumul dengan kenyataan dan berharap pada kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dalam setiap tangisan, ada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan dan bimbingan Sang Khalik.
Allah SWT mengetahui setiap isi hati hamba-Nya, bahkan sebelum mereka mengungkapkannya dalam doa ataupun air mata. Dalam Surah Al-Mulk ayat 14, Allah berfirman, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui, sedangkan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” Ini menandakan bahwa setiap tetesan air mata, setiap keluh kesah, bahkan yang tak terucapkan sekalipun, diketahui dan dicatat oleh Allah. Ia takkan pernah menyia-nyiakan kepedihan yang dialami oleh hamba-hamba-Nya yang sabar dan berserah diri.
Tangisan juga menjadi bentuk refleksi dan muhasabah diri. Ketika seorang hamba menangis karena menyadari dosa-dosanya, itu adalah pertanda bahwa hatinya masih hidup dan lembut. Dalam Surah At-Tahrim ayat 8, Allah menyeru orang-orang yang beriman untuk bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang tulus. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” Air mata yang keluar dalam taubat yang tulus adalah air mata yang dapat menghapus dosa-dosa besar.
Tak hanya itu, dalam kesedihan, dalam kehilangan, dalam musibah, tangisan menjadi jembatan antara manusia dengan Tuhannya. Rasulullah SAW pun menangis saat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Saat Ibrahim, putra beliau, wafat di usia kecil, Rasulullah meneteskan air mata dan bersabda, “Sesungguhnya mata ini meneteskan air mata dan hati ini bersedih. Dan kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai oleh Rabb kami. Sungguh, kami benar-benar bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa menangis dalam duka adalah bagian dari fitrah manusia dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, selama tidak disertai ratapan atau sikap tidak ridha.
Air mata juga menjadi bentuk empati yang sangat kuat. Ketika seseorang menangis karena melihat penderitaan orang lain, itu menandakan hatinya lembut dan penuh kasih. Rasulullah SAW sering kali menangis dalam doanya untuk umat, memohonkan ampun dan rahmat bagi mereka. Ini adalah teladan yang mengajarkan bahwa kepedulian sejati sering kali lahir dari hati yang ikut merasakan beban orang lain. Dalam Surah Al-Taubah ayat 128 disebutkan, “Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaum kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kamu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Maka dari itu, dalam setiap tangisan manusia, ada harapan yang menggantung, ada doa yang mengalir, ada permohonan yang terucap dalam diam. Allah, dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang-Nya, senantiasa mendengar dan merespon air mata yang tulus. Bahkan dalam malam yang sunyi, ketika manusia menangis di hadapan-Nya dalam sujud yang panjang, itulah saat-saat terdekat seorang hamba dengan Tuhannya.
Hidup ini adalah perjalanan yang penuh dinamika. Ada tawa, ada duka, ada kebahagiaan, dan ada kepedihan. Tapi semuanya bermuara pada satu hakikat bahwa manusia selalu membutuhkan Allah dalam setiap keadaan. Tangisan adalah salah satu bentuk kembalinya manusia kepada Allah, menyadari bahwa tidak ada kekuatan kecuali dengan-Nya, tidak ada jalan keluar kecuali atas izin-Nya.
Oleh karena itu, jangan pernah malu untuk menangis di hadapan Allah. Jangan pernah merasa lemah karena air mata. Sebab dalam Islam, air mata yang tulus memiliki kedudukan yang tinggi. Ia bisa menjadi sebab turunnya rahmat, dibukanya pintu-pintu langit, dan dihapusnya dosa-dosa masa lalu. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sampai air susu kembali ke kantong susunya.” (HR. Tirmidzi). Sebuah perumpamaan yang kuat untuk menunjukkan betapa mustahilnya api neraka menyentuh hamba yang hatinya luluh karena takut kepada Rabbnya.
Dalam setiap tangisan manusia, ada cinta, ada iman, dan ada kerinduan kepada yang Maha Abadi. Tangisan bukan akhir dari segalanya, justru bisa menjadi awal dari ketenangan dan kedamaian. Maka, jika air mata itu jatuh, biarkan ia mengalir, lalu bangkitlah dengan harapan yang baru, karena Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang bersujud dengan hati yang hancur namun penuh keyakinan.