Dalam kehidupan seorang muslim, ada tanggung jawab besar yang tidak bisa diabaikan, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Dua kalimat yang sering terdengar dalam dakwah dan ajaran Islam ini memiliki makna yang sangat mendalam. Amar ma’ruf berarti mengajak kepada kebaikan, sedangkan nahi mungkar bermakna mencegah kemungkaran atau perbuatan yang dilarang oleh Allah. Keduanya adalah pilar utama dalam menjaga kemurnian iman, memperkuat ukhuwah, dan menegakkan keadilan sosial dalam masyarakat. Tanpa adanya semangat amar ma’ruf nahi mungkar, kehidupan manusia akan dipenuhi dengan kekacauan, ketidakpedulian, dan hilangnya nilai-nilai kebenaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menjadi pedoman utama bagi setiap umat Islam dalam menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan. Pesan yang terkandung di dalamnya begitu jelas, bahwa amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap diri seorang mukmin.
Makna amar ma’ruf nahi mungkar tidak hanya sebatas pada ajakan verbal atau tindakan yang tampak, tetapi juga melibatkan niat yang tulus dan kasih sayang dalam menyampaikannya. Sebab, mengajak orang lain kepada kebaikan bukan berarti menghakimi atau merendahkan, melainkan menuntun dengan kelembutan dan keteladanan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104). Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati tidak hanya diukur dari harta atau kedudukan, tetapi dari sejauh mana seseorang berperan dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Namun dalam praktiknya, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar membutuhkan kebijaksanaan. Tidak semua orang siap menerima nasihat dengan cara yang sama. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk memahami kondisi dan situasi sebelum menyampaikan ajakan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikenal sebagai sosok yang penuh kelembutan dalam berdakwah. Beliau tidak pernah menyakiti hati orang lain dalam menyampaikan kebenaran, melainkan menggunakan tutur kata yang penuh kasih dan bijak. Dengan cara itulah, hati yang keras dapat menjadi lembut, dan mereka yang awalnya menolak kebaikan akhirnya terbuka untuk menerimanya.
Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar juga mencerminkan kepedulian terhadap sesama. Ketika seseorang membiarkan kemungkaran terjadi tanpa berusaha mencegahnya, maka sebenarnya ia sedang membiarkan keburukan tumbuh dan menyebar. Dalam masyarakat yang saling mengingatkan, kebaikan akan lebih mudah berkembang. Tetapi ketika setiap individu bersikap acuh, maka kezaliman dan keburukan akan merajalela. Karena itu, setiap muslim harus berani menjadi penyeru kebaikan, meskipun terkadang harus menghadapi tantangan dan penolakan.
Selain itu, amar ma’ruf nahi mungkar memiliki dampak besar terhadap diri sendiri. Seseorang yang terbiasa mengajak orang lain kepada kebaikan akan terus berusaha memperbaiki dirinya. Ia tidak ingin ucapannya berlawanan dengan perbuatannya. Dalam hal ini, Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an, “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44). Ayat ini mengajarkan agar dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus menjadi teladan terlebih dahulu, karena keteladanan lebih kuat pengaruhnya daripada sekadar kata-kata.
Menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar juga menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dan spiritual. Ketika seseorang menegur dengan niat baik, itu berarti ia ingin melindungi saudaranya dari dosa dan kebinasaan. Sebaliknya, ketika ia membiarkan kesalahan terus berlangsung tanpa peduli, maka itu sama saja dengan membiarkan saudaranya jatuh dalam kehancuran. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa umat Islam ibarat satu tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan. Dengan demikian, amar ma’ruf nahi mungkar menjadi bagian dari rasa kasih sayang dan kepedulian sesama umat.
Namun perlu disadari, bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak selalu harus dilakukan dengan keras. Dalam beberapa keadaan, sikap lemah lembut justru lebih efektif dalam menyentuh hati orang lain. Seperti kisah Nabi Musa yang diperintahkan Allah untuk berbicara kepada Firaun dengan kata-kata yang lembut, meskipun Firaun adalah manusia paling sombong pada zamannya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan kelembutan adalah bagian dari kebaikan itu sendiri.
Ketika amar ma’ruf nahi mungkar dijalankan dengan keikhlasan, maka keberkahan akan hadir dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Kebaikan yang ditegakkan akan menjadi cahaya yang menuntun langkah umat menuju jalan yang diridhai Allah. Sebaliknya, jika amar ma’ruf nahi mungkar diabaikan, maka kegelapan moral dan kehancuran akan melanda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Demi Allah, kalian benar-benar harus menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan menimpakan kepada kalian azab dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya tetapi doa kalian tidak dikabulkan.” (HR. Tirmidzi).
Dari hadits tersebut, kita dapat memahami bahwa amar ma’ruf nahi mungkar bukan hanya tanggung jawab ulama atau pemimpin, tetapi kewajiban setiap muslim. Sekecil apa pun peran kita dalam menegakkan kebaikan, akan menjadi cahaya di sisi Allah. Maka marilah kita mulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Dengan menanamkan semangat amar ma’ruf nahi mungkar, kita bukan hanya menjaga kebaikan, tetapi juga memperjuangkan masa depan umat yang penuh rahmat dan keberkahan.
					












