(021) 809 4342 administrasiypn@gmail.com

Penerapan Zakat pada Masa Rasulullah

Oleh

Yayasan Panji Nusantara

Penerapan Zakat pada Masa Rasulullah

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan sangat penting dalam membangun fondasi masyarakat yang adil dan sejahtera. Ibadah ini bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan juga bentuk pengorbanan sosial yang bertujuan untuk membersihkan harta, mempererat hubungan antarsesama, dan menegakkan keadilan ekonomi. Pada masa Rasulullah SAW, zakat diterapkan dengan penuh kesungguhan dan memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Sistem zakat yang diterapkan pada masa itu menjadi cikal bakal pengelolaan keuangan sosial Islam yang kemudian berkembang menjadi institusi formal dalam banyak peradaban Muslim di seluruh dunia.

Pada masa Rasulullah, zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban individual, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang berfungsi untuk mengentaskan kemiskinan dan mempererat solidaritas umat. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya zakat sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah dan bentuk kasih sayang terhadap sesama manusia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.” Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya zakat dalam struktur dasar ajaran Islam.

Zakat pada masa Rasulullah dikelola dengan sangat sistematis. Rasulullah sendiri bertindak sebagai kepala negara yang bertanggung jawab langsung dalam pengumpulan dan distribusi zakat. Beliau mengutus para petugas khusus yang disebut ‘amil zakat’ untuk mengumpulkan zakat dari kaum Muslimin yang telah mencapai nisab, baik dalam bentuk harta, emas, perak, hasil pertanian, maupun hewan ternak. Setiap jenis harta memiliki ketentuan yang berbeda dalam hal jumlah nisab dan kadar zakatnya, yang semuanya ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadits.

Misalnya, untuk zakat emas dan perak, kadar zakat yang harus dibayarkan adalah 2,5% dari total harta yang dimiliki selama satu tahun. Sementara untuk hasil pertanian, zakatnya bisa mencapai 5% hingga 10%, tergantung pada metode pengairannya. Dalam hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada seorang pun pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali pada hari kiamat akan dipanaskan untuknya lempengan-lempengan dari api neraka yang disetrikakan pada tubuhnya, dahi, punggung, dan pinggangnya. Setiap kali dingin, dipanaskan kembali untuknya pada hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, hingga Allah selesai mengadili hamba-hamba-Nya. Lalu dia akan melihat jalannya, ke surga atau ke neraka.” (HR. Abu Daud). Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman bagi mereka yang enggan menunaikan zakat.

Selain itu, zakat pada masa Rasulullah juga memiliki tujuan sosial yang sangat jelas. Zakat bukan hanya sekadar membersihkan harta, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas sosial yang bertujuan untuk memperkecil jurang antara si kaya dan si miskin. Dengan zakat, harta yang beredar di kalangan orang kaya didistribusikan kembali kepada masyarakat yang kurang mampu, sehingga tercipta keseimbangan ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, zakat berperan sebagai instrumen untuk menciptakan keadilan sosial dan menekan angka kemiskinan.

Salah satu contoh penerapan zakat pada masa Rasulullah adalah ketika beliau mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai gubernur. Rasulullah berpesan kepadanya, “Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Jika mereka mentaatimu dalam hal ini, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjadi bukti nyata bahwa zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban pribadi, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang harus dikelola dengan baik.

Dengan sistem yang terstruktur ini, Rasulullah berhasil menciptakan masyarakat yang bebas dari kemiskinan ekstrem. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa pada masa itu, hampir tidak ditemukan orang miskin yang layak menerima zakat, karena kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan telah terjamin. Hal ini menunjukkan bahwa ketika zakat dikelola dengan baik, ia memiliki kekuatan besar untuk mengubah kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat.

Penerapan zakat pada masa Rasulullah juga menunjukkan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana sosial. Setiap petugas zakat harus jujur dan amanah dalam menjalankan tugasnya, serta memastikan bahwa dana yang dikumpulkan benar-benar sampai kepada mereka yang berhak. Rasulullah sangat tegas dalam hal ini, bahkan pernah memperingatkan para petugasnya untuk tidak mengambil keuntungan pribadi dari hasil zakat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat menjadi petugas zakat, kemudian ia menyembunyikan sesuatu (dari hasil zakat), maka pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan membawa hasil itu di lehernya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, penerapan zakat pada masa Rasulullah menjadi teladan yang sangat penting bagi umat Islam dalam memahami esensi dan tujuan dari ibadah ini. Tidak hanya sebagai kewajiban finansial, tetapi juga sebagai alat untuk memperkuat solidaritas sosial, mengentaskan kemiskinan, dan menegakkan keadilan ekonomi. Sistem ini menunjukkan bahwa Islam memiliki pandangan yang sangat komprehensif dalam mengelola kekayaan dan kesejahteraan masyarakat, yang relevan untuk diterapkan hingga hari ini.

Popular Post