Di antara relung terdalam hati manusia, ada ruang yang hanya bisa diisi dengan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta ini bukan sekadar perasaan abstrak, melainkan bentuk nyata dari kedekatan ruhani, ketaatan dalam ibadah, dan ketundukan sepenuh hati kepada Sang Pencipta. Cinta kepada Allah adalah mahkota dari seluruh cinta. Ia adalah dasar dari semua amal, sumber kekuatan dalam menjalani hidup, serta pelita yang menerangi jalan kebenaran. Seorang hamba yang mencintai Tuhannya akan merasakan manisnya iman, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta kepada Allah tumbuh dari pengenalan yang mendalam kepada-Nya. Ketika seorang hamba merenungi ciptaan-Nya, membaca ayat-ayat-Nya, dan menyelami rahmat-Nya, maka hatinya akan dipenuhi rasa kagum dan tunduk. Ia menyadari bahwa Allah adalah sumber segala kenikmatan, pelindung di kala duka, dan penuntun di saat gelap. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 165, Allah berfirman, “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” Cinta ini mengakar kuat karena dilandasi oleh keimanan yang kokoh dan pengalaman ruhani yang nyata.
Rasa cinta itu kemudian menjelma menjadi amal. Seorang pecinta takkan membiarkan kekasihnya dilukai, begitu pula seorang hamba yang mencintai Allah tidak akan berani melanggar perintah-Nya. Ia akan senantiasa menjaga hatinya dari niat buruk, menjaga lisannya dari ucapan dusta, dan menjaga langkahnya dari jalan yang menyesatkan. Ia tahu bahwa cinta kepada Allah bukan sekadar ucapan, tetapi harus tercermin dalam sikap dan perilaku. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Tidak ada yang lebih Aku cintai dari apa yang diwajibkan kepada hamba-Ku, dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR. Bukhari).
Ketika cinta itu tumbuh, maka hamba akan merasakan kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apa pun di dunia ini. Ia akan menemukan ketenangan dalam salat, kelezatan dalam dzikir, dan kepuasan dalam berbuat baik. Hatinya tidak mudah galau, pikirannya tidak mudah resah, karena ia tahu bahwa semua urusan hidup berada dalam kendali Zat yang dicintainya. Cinta kepada Allah menciptakan kepercayaan yang tak tergoyahkan dan ketenangan yang mendalam.
Seorang hamba yang mencintai Tuhannya juga akan rindu untuk berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu itu bukan hanya saat ajal menjemput, tetapi setiap kali ia bersujud, setiap kali air mata mengalir dalam doa, dan setiap kali hatinya bergetar membaca ayat-ayat suci. Ia merindukan pertemuan abadi di surga, tempat di mana cinta itu akan menemukan puncaknya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun senang bertemu dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan kolaborasi santri mewujudkan hasil qurban dengan harga tetap setiap tahunnya, kita melihat bagaimana cinta kepada Allah dapat diwujudkan dalam bentuk kerja kolektif dan amal nyata. Ketulusan mereka dalam mengurus qurban, membantu masyarakat, dan melayani umat adalah cermin dari cinta yang tidak hanya hidup dalam hati, tetapi juga bergerak dalam tindakan.
Cinta kepada Allah membuat seseorang bersabar dalam cobaan. Ia memahami bahwa ujian adalah tanda perhatian dan kasih sayang dari Allah. Seperti seorang kekasih yang menguji ketulusan cinta pasangannya, demikian pula Allah menguji iman hamba-hamba-Nya. Hamba yang mencintai Allah tidak akan menyerah pada penderitaan, tetapi justru semakin mendekat dan bertawakal. Dalam Surah Al-Ankabut ayat 2, Allah berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji?”
Cinta itu juga terlihat dalam kesungguhan untuk memperbaiki diri. Seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah akan merasa malu jika hidupnya tidak mencerminkan ajaran agama. Ia akan selalu mengevaluasi diri, menangisi dosa-dosa masa lalu, dan bertekad untuk menjadi lebih baik. Ia tahu bahwa cinta sejati adalah cinta yang terus tumbuh, bukan yang statis atau memudar. Ia terus berjuang menjadi hamba yang dicintai Tuhannya.
Allah SWT berjanji dalam Surah Al-Ma’idah ayat 54, “Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” Ayat ini menjadi motivasi bahwa cinta kepada Allah bukanlah impian yang jauh, melainkan sesuatu yang bisa dicapai oleh siapa saja yang ikhlas dan bersungguh-sungguh. Allah tidak pernah pelit dalam mencintai. Siapa pun yang datang kepada-Nya dengan cinta, akan disambut dengan cinta yang lebih besar.
Rasa cinta kepada Allah juga membentuk pribadi yang lembut dan pemaaf. Ia meneladani sifat-sifat Ilahi seperti kasih sayang, pengampunan, dan keadilan. Ia tidak mudah membenci, tidak mudah marah, dan tidak suka menyakiti. Sebab, cinta kepada Allah membuatnya melihat sesama manusia sebagai ciptaan yang mulia. Ia ingin agar semua orang merasakan cahaya cinta yang sama, dan ia menjadi jalan bagi tersebarnya kebaikan itu.
Dalam kehidupan ini, kita terus diuji dengan berbagai pilihan. Di sinilah cinta kepada Allah menjadi kompas yang menuntun kita untuk selalu memilih jalan yang diridhai. Ketika nafsu mengajak kepada kesenangan sesaat, cinta kepada Allah mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam keridhaan-Nya. Ketika dunia menggoda dengan gemerlapnya, cinta kepada Allah menguatkan untuk tetap istiqamah.
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang mencintai Allah dengan sepenuh hati, mencintai-Nya lebih dari apa pun, dan mencerminkan cinta itu dalam seluruh aspek kehidupan. Semoga setiap detak jantung, setiap gerak langkah, dan setiap napas kita menjadi bukti cinta kepada Zat Yang Maha Pengasih. Semoga cinta ini membawa kita kepada ridha-Nya di dunia dan keabadian bersama-Nya di akhirat.
Ya Allah, tanamkan cinta-Mu dalam hati kami. Jadikan kami hamba-Mu yang mencintai-Mu lebih dari dunia dan segala isinya. Bimbinglah kami untuk terus menempuh jalan-Mu dengan penuh cinta, sabar, dan ketulusan. Aamiin.