Setiap datangnya Hari Raya Iduladha, umat Islam di berbagai penjuru dunia kembali diingatkan pada kisah agung pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dalam momen itu, penyembelihan hewan qurban bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ibadah yang menyentuh nilai-nilai ketundukan, keikhlasan, dan kepedulian sosial. Namun, seiring perkembangan zaman, muncul satu wacana baru yang menimbulkan diskusi di kalangan masyarakat, yakni tentang sertifikasi penyembelih hewan qurban. Lalu, bagaimana pandangan para ulama terhadap hal ini?
Untuk menjawabnya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa penyembelihan hewan qurban dalam Islam memiliki aturan yang sangat spesifik dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Hal ini ditegaskan dalam banyak literatur fiqih dan hadits, di mana syarat sahnya penyembelihan antara lain harus dilakukan oleh seorang Muslim yang berakal, memahami tata cara penyembelihan yang sesuai syariat, serta menggunakan alat yang tajam untuk mempercepat proses penyembelihan dan meminimalkan penderitaan hewan.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Maka apabila kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewannya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa syariat Islam menaruh perhatian besar terhadap aspek etika dalam menyembelih hewan. Maka dari itu, munculnya ide sertifikasi penyembelih hewan qurban sesungguhnya bukanlah bentuk pembatasan ibadah, melainkan ikhtiar untuk menjaga kesesuaian praktik penyembelihan dengan tuntunan syariat serta menjamin kelayakan orang yang melakukannya. Hal ini, dalam pandangan sebagian ulama, termasuk bentuk sadd az-zari’ah atau tindakan preventif untuk menghindari pelanggaran syariat.
Beberapa ulama kontemporer melihat sertifikasi ini sebagai langkah positif, terutama dalam konteks masyarakat modern yang kian kompleks. Mereka berpendapat bahwa dengan adanya pelatihan dan sertifikasi, penyembelihan akan dilakukan secara lebih profesional, higienis, dan sesuai standar syariat serta kesehatan masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya memperhatikan aspek ibadah, tetapi juga dimensi sosial dan lingkungan.
Namun, di sisi lain, sebagian ulama tradisional mengingatkan agar sertifikasi tidak menjadi syarat mutlak yang justru membatasi partisipasi umat dalam berqurban. Mereka menekankan bahwa syarat utama penyembelih adalah keislaman, pemahaman dasar tentang tata cara penyembelihan, dan niat yang tulus karena Allah. Jika ketiga unsur itu terpenuhi, maka penyembelihannya sah tanpa perlu selembar sertifikat. Pendapat ini bersandar pada praktik Nabi dan para sahabat yang tidak mempersyaratkan formalitas administrasi dalam ibadah qurban.
Di tengah dua pandangan ini, muncullah sikap moderat dari sebagian ulama yang memandang bahwa sertifikasi bukanlah kewajiban, tetapi bisa menjadi mashlahah mursalah, yaitu kebijakan yang ditetapkan demi kemaslahatan umat, selama tidak bertentangan dengan dalil syar’i. Dalam hal ini, sertifikasi bisa dianggap sebagai upaya edukasi yang menambah kualitas penyembelih, bukan sebagai bentuk pembatasan atau persyaratan baru dalam ibadah.
Lebih lanjut, penting untuk digarisbawahi bahwa esensi utama dalam penyembelihan hewan qurban adalah niat yang ikhlas dan pelaksanaan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Oleh karena itu, meskipun seseorang tidak memiliki sertifikat, selama ia mampu melaksanakan penyembelihan dengan benar dan memenuhi rukun serta syaratnya, maka penyembelihannya tetap sah. Ini selaras dengan prinsip dasar fiqih bahwa segala sesuatu kembali kepada niat dan kemampuan pelaksanaannya.
Penerapan sertifikasi juga tidak boleh menjadi alat komersialisasi ibadah. Apabila dijadikan ladang bisnis oleh pihak tertentu, maka semangat awalnya yang bertujuan meningkatkan kualitas ibadah akan ternodai. Ulama-ulama yang kritis terhadap sertifikasi menegaskan pentingnya menjaga kesucian ibadah qurban dari kepentingan duniawi dan birokrasi yang berlebihan.
Akan tetapi, jika pelatihan dan sertifikasi dilaksanakan dengan niat tulus untuk mendidik masyarakat serta menjaga martabat ibadah qurban, maka hal itu bisa menjadi amal jariyah yang memberi manfaat luas. Apalagi dalam konteks penyembelihan massal seperti di rumah potong hewan atau saat hari raya, adanya petugas terlatih yang bersertifikat bisa membantu memastikan pelaksanaan ibadah berlangsung tertib, aman, dan sesuai tuntunan.